Anggaran Makan Bergizi Gratis Terpangkas Diduga Ruang Fiskal Sempit
Anggaran untuk program makan bergizi gratis mengalami penyesuaian, di mana bujet per sekali makan turun dari Rp15.000 menjadi Rp10.000. Meski demikian, total anggaran untuk program ini tetap di angka Rp71 triliun yang telah dialokasikan untuk tahun 2025. Menanggapi hal ini, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa langkah tersebut mencerminkan ruang fiskal pemerintah yang semakin terbatas. Menurutnya, pemerintah harus memutar otak untuk mengoptimalkan anggaran agar tetap dapat memenuhi target program unggulan Presiden Prabowo Subianto.
Eko menjelaskan kepada pedulilindungi.id bahwa, nominal Rp71 triliun tersebut merupakan angka bruto. Artinya, jumlah tersebut tidak sepenuhnya digunakan langsung untuk pengadaan makan bergizi gratis. Ada sejumlah kebutuhan lain yang harus dipenuhi dari anggaran itu, seperti upah tenaga kerja, biaya pengemasan, dan pembayaran kepada vendor. “Hal ini menunjukkan ruang fiskal yang memang sempit. Pemerintah tidak bisa menarik anggaran tambahan, sehingga yang ada harus dioptimalkan,” ujar Eko saat ditemui di Menara Bank Mega pada Selasa (3/12/2024).
Anggaran Makan Bergizi Gratis Terpangkas Diduga Ruang Fiskal Sempit
Efisiensi Anggaran untuk Optimalisasi Program
Pemotongan bujet per porsi makan bergizi ini dilakukan untuk memastikan keberlanjutan program tanpa melebihi batas alokasi anggaran. Namun, Eko mengingatkan bahwa dengan penurunan anggaran per porsi, pemerintah perlu berhati-hati agar kualitas makanan yang disediakan tetap terjaga. “Dengan Rp10.000 per porsi, kualitas gizi dan pengemasan tetap harus diperhatikan. Jangan sampai dampaknya malah mengurangi efektivitas program,” tegasnya.
Menurut Eko, efisiensi anggaran menjadi tantangan utama dalam program ini. Di satu sisi, pemerintah ingin menjangkau sebanyak mungkin penerima manfaat. Namun, di sisi lain, keterbatasan ruang fiskal membuat pemerintah harus menekan pengeluaran di berbagai sektor. “Pemerintah harus benar-benar cermat dalam mengalokasikan dana agar program ini tidak hanya sekadar berjalan, tetapi juga mencapai target yang diinginkan,” tambahnya.
Ruang Fiskal yang Terbatas
Eko menjelaskan bahwa sempitnya ruang fiskal ini mencerminkan tantangan ekonomi yang sedang dihadapi oleh pemerintah. Dengan kebutuhan yang terus meningkat di berbagai sektor, pemerintah harus mampu membuat prioritas tanpa melampaui batas kemampuan fiskal yang tersedia. Menurutnya, kondisi ini tidak hanya terjadi di program makan bergizi gratis, tetapi juga pada program-program lain yang masuk dalam daftar prioritas nasional.
“Sebagian besar anggaran yang ada sudah memiliki tujuan tertentu. Untuk menambah alokasi di satu program, pemerintah harus mengurangi di program lain. Ini adalah gambaran nyata bahwa ruang fiskal kita sangat sempit,” jelasnya. Eko juga menyoroti bahwa meskipun angka Rp71 triliun terkesan besar, jika dibagi untuk berbagai kebutuhan operasional, nominal ini menjadi relatif kecil.
Strategi untuk Program Unggulan
Menanggapi situasi ini, Eko menyarankan pemerintah untuk mencari cara-cara inovatif dalam pengelolaan anggaran. Ia menyarankan agar kolaborasi dengan sektor swasta ditingkatkan untuk mengurangi beban pemerintah. Selain itu, penggunaan teknologi dalam distribusi program juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi. “Dengan penggunaan teknologi, proses distribusi dapat lebih transparan dan akuntabel. Ini penting agar setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar sampai kepada penerima manfaat,” kata Eko.
Ia juga mengingatkan bahwa program makan bergizi gratis adalah bagian penting dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama anak-anak dan kelompok rentan. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus dilakukan dengan cermat dan efisien, tanpa mengurangi esensi dari program tersebut.
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis
Penutup
Penyesuaian anggaran makan bergizi gratis menjadi bukti bahwa pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi keterbatasan ruang fiskal. Dengan tantangan yang ada, efisiensi dan inovasi menjadi kunci utama agar program ini tetap berjalan sesuai target. Pemangkasan bujet per porsi dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 harus diimbangi dengan strategi pengelolaan yang baik agar tujuan akhir, yaitu meningkatkan gizi masyarakat, dapat tercapai tanpa mengurangi kualitas.
Pemerintah diharapkan terus mencari solusi agar alokasi anggaran tetap optimal dan tidak menimbulkan dampak negatif pada penerima manfaat. Di sisi lain, kolaborasi dengan berbagai pihak perlu ditingkatkan agar beban fiskal dapat terbagi, sehingga program-program unggulan tetap berjalan maksimal di tengah keterbatasan yang ada.