Mahfud MD Pertanyakan Vonis 6 Tahun Penjara untuk Harvey Moeis
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia, Prof. Mahfud MD, mengungkapkan keheranannya atas vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada pengusaha Harvey Moeis. Keputusan hakim tersebut jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU), yakni 12 tahun penjara, denda sebesar Rp1 miliar, serta uang pengganti sebesar Rp210 miliar. Menurut Mahfud, selisih antara tuntutan dan vonis final ini sangat mencolok dan tampak menyalahi rasa keadilan masyarakat.
Dalam cuitan melalui akun Twitter resminya, @mohmahfudmd, pada Kamis (26/12), Mahfud diketahui pedulilindungi.id menyebut bahwa putusan majelis hakim tidak logis karena mencerminkan disparitas hukuman yang berlebihan. Terlebih, kasus ini dikaitkan dengan dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai yang fantastis, mencapai Rp300 triliun. Pernyataan Mahfud pun menambah panjang daftar reaksi publik yang mempertanyakan konsistensi penegakan hukum di Indonesia.
Latar Belakang Kasus
Kasus yang menjerat Harvey Moeis bermula ketika dirinya diduga terlibat dalam praktik korupsi dan TPPU. Nilai kerugian negara ditaksir luar biasa besar, yakni sekitar Rp300 triliun. Jaksa menilai, perbuatan Harvey bersifat sistemik karena melibatkan sejumlah pihak penting dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah masif.
Mahfud MD Pertanyakan Vonis 6 Tahun Penjara untuk Harvey Moeis
Di persidangan, JPU menuntut Harvey dengan hukuman 12 tahun penjara. Selain itu, jaksa juga mewajibkan pembayaran denda sebesar Rp1 miliar, disertai hukuman pengganti apabila denda tersebut tidak dipenuhi. Tak hanya itu, pengusaha tersebut juga diharuskan membayar uang pengganti senilai Rp210 miliar, yang menurut jaksa, merefleksikan kerugian negara akibat tindakannya. Namun, ketika majelis hakim membacakan vonis, putusannya justru hanya menetapkan hukuman 6,5 tahun penjara.
Keheranan Mahfud MD
Mahfud MD, yang selama ini dikenal vokal terhadap isu-isu hukum dan keadilan di Indonesia, mempertanyakan kewajaran vonis tersebut. Ia menilai, putusan tersebut tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang dialami negara. Dalam pandangannya, jika korupsi dan TPPU senilai Rp300 triliun hanya dibalas dengan kurungan penjara 6,5 tahun, maka hal itu terkesan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Bagi Mahfud, penanganan korupsi seharusnya tegas dan menimbulkan dampak pencegahan (deterrent effect) yang kuat.
Penegakan hukum yang tebang pilih atau dirasa tidak adil berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Padahal, keadilan merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahfud menekankan bahwa vonis ringan terhadap dugaan korupsi berskala masif akan mencoreng upaya pemberantasan korupsi yang sedang gencar dilakukan oleh berbagai institusi.
Menyentak Rasa Keadilan
Pernyataan Mahfud yang menyebut vonis tersebut “tak logis, menyentak rasa keadilan” mencerminkan kekecewaan yang cukup dalam. Bukan hanya soal kesenjangan antara tuntutan dan vonis, tetapi juga menyangkut seberapa serius aparat penegak hukum menindak kasus korupsi. Menurut Mahfud, selayaknya pihak yang terbukti merugikan keuangan negara dalam skala ratusan triliun dikenai hukuman berat dan tegas agar menimbulkan efek jera.
Dugaan korupsi dan TPPU dengan nilai Rp300 triliun, jika terbukti benar, merupakan kasus yang tergolong kolosal. Kasus besar seperti ini biasanya juga tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan jaringan luas, entah melalui relasi bisnis, kebijakan, atau bahkan lintas lembaga. Oleh karena itu, hukuman yang dijatuhkan semestinya mampu merefleksikan keseriusan penegak hukum dalam memerangi praktik korupsi hingga ke akar-akarnya.
Pentingnya Konsistensi Penegakan Hukum
Kasus yang menjerat Harvey Moeis kian menyoroti perlunya konsistensi penegakan hukum di Indonesia. Banyak pihak menganggap, penanganan korupsi sering kali berakhir dengan vonis yang lebih rendah dibandingkan tuntutan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sistem peradilan di Indonesia sudah efektif dalam memproses kasus-kasus besar?
Upaya pemberantasan korupsi sering kali dihadapkan pada berbagai kendala, termasuk lobi-lobi politik, tekanan dari pihak tertentu, serta lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum. Dalam situasi semacam itu, vonis yang jauh lebih ringan daripada tuntutan kerap membuat publik bertanya-tanya tentang sejauh mana independensi pengadilan dalam memutus perkara. Pasalnya, keadilan tidak hanya soal memenjarakan pelaku, tetapi juga memberikan ganti rugi dan menegakkan kepastian hukum.
Harapan Publik dan Kritik Terbuka
Reaksi keras Mahfud MD bukanlah satu-satunya bentuk ketidakpuasan terhadap vonis ringan kasus korupsi. Masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai organisasi antikorupsi juga kerap melontarkan kritik terbuka terhadap kebijakan pengadilan yang dirasa tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi. Transparansi proses peradilan pun dibutuhkan agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya pengaruh kekuatan tertentu di balik layar.
Banyak yang berharap, institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dapat bekerja sama lebih solid. Selain itu, publik menantikan upaya peningkatan kapasitas dan integritas aparat penegak hukum agar kasus-kasus besar bisa diungkap secara tuntas. Hanya dengan begitu, pemberantasan korupsi dan TPPU dapat menemukan jalan terang, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan meningkat.